Opini

Moderasi Beragama Masyarakat Multikultural dalam Tinjauan Sirah Nabawiyah

Jumat, 17 Mei 2024 09:11 WIB
  • Share this on:

Sekretaris Bimas Islam Tarmizi Tohor dalam situs resmi Kementerian Agama mengulas tentang moderasi beragama. Menurutnya moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yaitu memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan yaitu yang sangat kaku dalam beragama sehingga memahami ajaran agama mengamalkan agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal, maupun ekstrem kiri yaitu sebaliknya sangat longgar dan bebas dalam memahami agama sehingga penggunaan akal yang sangat berlebihan dan menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuat ajaran.

Sedangkan Ketua Pokja Moderasi Beragama Kementerian Agama, Oman Fathurrahman dalam situs yang sama menjelaskan pengertian moderasi beragama. Kata ‘moderasi’ berasal dari bahasa latin moderatio, yang berarti kesedangan, tidak berlebihan, tidak kekurangan alias seimbang. Dalam KBBI kata ‘moderasi’ didefinisikan sebagai pengurangan kekerasan atau penghindaran keekstreman. Sehingga moderasi beragama memiliki pengertian cara pandang, sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berdasarkan prinsip adil, berimbang dan menataati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

Menurut Rektor Universitas Darrusalam (UNIDA) Gontor, Prof. Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, kata ‘moderat’ itu bukan berasal dari Islam. Islam mempunyai terminologi sendiri tentang sikap moderat, yaitu wasatiyah yang artinya juga berbeda. Perbedaannya jika moderat ialah orang yang bisa menerima humanisme, demokrasi, feminisme, plurarisme dan hal-hal yang berasal dari luar Islam. Istilah yang mendekati kata moderat dalam Islam disebut wasatiyah (umatan wasathan). Kata wasathan rujukannya adalah umat. Ummatan wasathan kaitannya dengan kehidupan keberagamaan yang di dalamnya mencakup ritual, sosial dan institusional. Artinya cara beribadah umat Islam itu sederhana, rutin dan tidak mahal. Islam mengajarkan umatnya bahwa dalam kehidupan sosial umat Islam itu tidak boleh anti ras dan tidak boleh membedakan status sosial. Untuk menjadi seorang yang sholeh tidak boleh ekstrim sehingga meninggalkan segala urusan dunia seperti berdagang, menikah, berpolitik dan sebagainya. Sebaliknya ketika hidup di dunia tidak boleh secara ekstrim pula melupakan akhirat.

Sedangkan istilah masyarakat multikultural bukan barang baru bagi sejarah peradaban manusia. Allah menjelaskannya dalam Q.S Al Hujurat: 13 bahwa manusia memang diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. 

Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. Al Hujurat: 13)

 

Jahiliyah yang Gagal dalam Menjaga Masyarakat Multikultur

Jauh sebelum Rasulullah SAW diutus, masyarakat dunia berada dalam kondisi kejahiliyahan yang sangat akut. Digambarkan oleh Dr. Mushthafa As Siba’i bahwa dunia dalam kondisi sangat mencekam. Keserakahan dan kebodohan merajalela. Pembagian strata sosial, fanatisme golongan, perbudakan, perzinahan, pemberhalaan hingga kekuasaan tanpa batas menjadi akar dari permasalahan jahiliyyah ketika itu.

Sebagai contoh kekuasaan Kisra di Persia memiliki nilai absolut yang sangat tinggi hingga ketika Kisra melihat seseorang dengan gaya rambut yang tidak disukainya maka dia langsung meminta pengawal bukan untuk merapihkan rambutnya, namun untuk memenggal lehernya. Lain lagi dengan Kaisar Romawi ketika ada seseorang yang tidak sengaja besendawa hingga terdengar maka orang tersebut langsung dibunuh. Bahkan di India pemberhalaan merajalela hingga ada suatu kaum yang menyembah (maaf) kemaluan wanita.

Di Jazirah Arab sendiri kejahiliyahan pun merajalela. Perbudakan, perjudian, khamr hingga perzinahan menjadi aktitifitas dan rutinitas keseharian. Sebagai contoh ketika ada seorang suami yang menginginkan anak keturunan yang bagus dari segi fisik maka dia tidak segan-segan untuk menyuruh istrinya berzina dengan pria lain yang dinilai gagah dan kuat.

Selain itu, walaupun tidak ada pemimpin tunggal di Makkah dan Jazirah Arab pada umum namun sifat ashobiyah jahilliyah (fanatisme kesukuan) amat sangat kental. Misalnya satu suku bisa berperang berhari-hari bahkan berbulan-bulan dengan suku lainnya hanya karena ada anggota sukunya yang memiliki masalah pribadi dengan anggota suku lainnya tanpa diketahui penyebab permasalahnya. Artinya bahwa kondisi dunia ketika itu sedang tidak baik-baik saja. Sedikit perbedaan saja baik itu antar suku, ras dan tingkatan strata sosial di masyarakat menjadi penyebab terjadinya perpecahan dan tindakan kedzaliman.

 

Pembentukan Individu Kokoh di Periode Makkah

Kemudian Rasulullah SAW pun diutus oleh Allah SWT ke muka bumi ini untuk memberikan pencerahan kepada umat manusia. Beliau mengajarkan untuk menuju tauhid kepada Allah SWT.

Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Q.S.Al Jumuah: 2)

Rasulullah SAW mulai menyampaikan dakwah kebenaran kepada manusia –yang ketika itu khususnya penduduk Quraisy– membacakan setiap wahyu yang diturunkan Allah SWT melalui malaikat Jibril, kemudian mensucikan hati dan jiwa mereka dengan iman perlahan-lahan dengan segala tingkatannya serta adab-adab Islami sehingga menjadi kokoh. Setelah itu beliau pun mengajarkan mereka yang telah beriman ilmu pengetahuan dan hikmat sehingga mereka terlepas dari kegelapan dan kesesatan serta pemberhalaan. Inilah yang kemudian oleh kebanyakan para ahli pendidikan disebut sebagai kurikulum Rasulullah SAW dalam membentuk generasi muslim madani.

Uniknya di masa awal-awal dakwahnya Rasulullah SAW memiliki para pengikut terdiri dari berbagai ras dan keturunan. Ada yang memang asli Arab Quraisy seperti Abu Bakar, Ustman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Ali bin Abi Thalib, Khadijah binti Khuwailid dan sejumlah orang lainnya. Namun ada juga yang di luar Quraisy seperi Abu Dzar Al Ghifari bahkan ada juga yang di luar bangsa Arab seperti Bilal bin Rabah yang berkebangsaan Afrika, Shuhaib Arrumi dari Romawi dan Salman al Farisy dari Persia. Ini menunjukkan bahwa dakwah Islam terbuka bagi semua etnis, golongan dan multiprofesi dari pengusaha hingga budak.

Pada periode Makkah ini Rasulullah SAW fokus untuk membangun individu-individu yang beragam ini dengan iman yang kokoh dan ilmu yang matang sebagai aset dakwah. Ayat-ayat yang turun pada periode ini kebanyakan mengulas tentang iman, tauhid, adab, peristiwa, kisah para nabi dan orang-orang terdahulu. Ini menegaskan bahwa penanaman iman, adab dan ilmu dan ibrah pelajaran orang-orang terdahulu menjadi materi utama sehingga terbentuk pondasi kokoh tentang cara berfikir seorang muslim. 

Rasulullah SAW semaksimal mungkin menghindari konfrontasi dengan para penguasa Quraisy yang memusuhinya untuk menjaga aset Islam ini agar tidak gugur sebelum berkembang. Bahkan ketika keluarga Yasir disiksa oleh Abu Jahal sampai terbunuhnya Sumayyah dan Yasir, Rasulullah SAW tidak melakukan perlawanan apapun kecuali ‘hanya’ berkata kepada sang anak Amar bin Yasir “Sabarlah wahai keluarga Yasir, Insya Allah kita akan bertemu di syurga

Hingga tantangan terberat para periode ini adalah adanya pemboikotan dari suku-suku Quraisy kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib sebagai pendukung utama dakwah Rasulullah SAW. Ini sekaligus ujian dari Allah terhadap basis ukhuwah dan soliditas individu-individu muslim terhadap tantangan fanatisme ashobiyah yang sudah sangat mengakar.

 Pembentukan Masyarakat Madani pada Periode Madinah

Fase selanjutnya adalah Periode Madinah yang ditandai dengan proses hijrahnya Rasulullah SAW dan para sahabat dari Makkah menuju tempat baru bernama Yatsrib yang kemudian diganti oleh Rasulullah SAW menjadi Madinah.

Proses ini tidak serta merta secara spontanitas terjadi, namun didahului dengan persiapan dan penyiapan sebelumnya (mahjar: tempat hijrah) dengan diutusnya seorang pemuda Makkah bernama Mus’ab bin Umair. Dengan bekal iman dan ilmu yang kokoh di bawah arahan langsung Rasulullah SAW, Mus’ab dalam kurun waktu hanya dua tahun saja telah berhasil mempersatukan dan mengIslamkan suku ‘Aus dan Khazraj yang sebelumnya selama puluhan tahun bertikai perang saudara atas hasutan kaum Yahudi bani Nadhir, Bani Quraizhah dan Bani Qainuqa di Madinah. Inilah kecermelangan buah pendidikan Rasulullah SAW yang mampu membuat masyarakat yang tadinya bercerai-berai mampu dipersatukan dalam kurun waktu singkat.

dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Q.S. Ali Imran: 103)

Rasulullah SAW kemudian memerintahkan seluruh orang yang telah berislam untuk hijrah ke Madinah, dalam rangka menghimpun basis kekuatan dan membangun masyarakat Islam yang ideal serta untuk mewujudkan risalah Islam dalam gerak kolektif berjamaah ukhuwah Islamiyah. Bahkan beliau menyatakan tidak bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi bagi orang-orang tidak tidak mau hijrah tanpa alasan yang dibenarkan. Setelah itu Rasulullah SAW membangun Masjid Nabawi yang memiliki peran penting sebagai sentral kegiatan umat. Seluruh kegiatan di dalamnya bertujuan untuk mensucikan jiwa, membersihkan akhlak dan mengukuhkan ikatan kerjasama di antara umat Islam. Adanya sholat berjamaah, sholat jumat dan kegiatan lainnya merupakan perekat utama persatuan dan kesamaan hak dan kewajiban. Apakah dia budak atau pengusaha, dari Afrika atau Eropa bahkan dia seorang pemimpin atau rakyat jelata ketika datang lebih awal ke masjid maka dialah yang lebih berhak menduduk shaf terdepan. Masjid juga menjadi basis kerjasama kebaikan dan ketaqwaan. Sehingga masjid memiliki peranan yang sangat besar bagi spiritual dan sosial umat Islam. Masjid juga menjadi pusat informasi utama untuk mendidik, menyatukan pemahaman, membersihkan jiwa, menyadarkan hati dan akal serta menyelesaikan problematika permasalahan umat serta mengukuhkan kekuatan dan ketahanan fisik dan mental.

Kemudian untuk mengatasi masalah sosial seperti tempat tinggal, pangan, pekerjaan dan masalah lainnya, strategi yang dibuat Rasulullah SAW adalah dengan mempersaudarakan antara golongan Muhajirin (orang-orang yang ikut hijrah ke Madinah) dan golongan Anshar (penduduk Madinah yang menyambut dakwah). Setiap Anshar diberikan tanggungjawab satu orang Muhajirin. Sehingga seorang Anshar berkenan berbagi kepada Muhajirin terhadap apa saja yang dimiliknya baik itu tanahnya, harta bahkan istrinya pun siap dibagi (apabila memiliki lebih dari seorang istri, tentunya dengan ketentuan masa iddah).

Persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar merupakan manisfestasi nyata dari sifat Islam yang humanis dan bermoral. Muhajirin datang ke Madinah tanpa sedikit pun harta. Sedangkan Anshar memiliki harta, lahan pertanian dan pekerjaan. Terjadilah persaudaraan berbagi rasa dalam suka dan duka, memberikan tumpangan tempat tinggal, memberikan sebagian hartanya untuk saling berbagi. Inilah bentuk keadilan sosial dalam Islam bahwa orang yang kelebihan membantu orang yang sedang kekurangan.

 

Piagam Madinah Sebagai Puncak Moderasi Multikultur

Setelah urusan internal umat Islam diatasi dan dicarikan solusinya, kemudian Rasulullah SAW yang diangkat menjadi pemimpin ‘negara’ Madinah membuat undang-undang tertulis yang dikenal dengan Piagam Madinah. Aturan ini berlaku untuk Muhajirin, Anshar dan orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah. Piagam ini berisi tentang prinsip-prinsip dasar yang dijadikan pegangan dalam pemerintahan Islam.

Dr. Musthafa As-Shiba’i dalam menuliskan beberapa prinsip umum yang cakup dalam piagam madinah antara lain:

  • Persatuan umat Islam tanpa adanya diskriminasi, persamaan hak dan kehormatan bagi setiap individu muslim, kerjasama yang kuat selain dalam kedzaliman, dosa dan permusuhan, serta pembentukan masyarakat berlandaskan aturan-aturan yang baik, benar dan lurus.
  • Perlawanan terhadap kelompok yang memberontak pada negara dan undang-undang umum, serta larangan untuk membentu kelompok tersebut.
  • Perlindungan terhadap orang non-muslim yang ingin hidup damai dan bekerja sama dengan kaum muslimin, serta larangan berbuat zalim dan jahat kepadanya. Orang non-muslim berhak atas agama dan harta mereka. Orang non-muslim tidak boleh dipaksa untuk masuk Islam, juga tidak boleh dirampas harta mereka.
  • Golongan non-muslim wajib ikut andil dalam pembiayaan negara seperti halnya kaum muslim. Golongan non-muslim harus bekerja sama dengan kaum muslim dalam mengeliminasi bahaya yang mengancam eksistensi negara, yakni melawan setiap musuh negara.
  • Negara wajib menolong orang non-muslim yang didzalimi, seperti halnya terhadap seorang muslim yang didzalimi.
  • Seseorang tidak boleh dihukum atas kesalahan orang lain, dan tidak boleh dieksekusi kecuali atas kesalahannya sendiri atau keluarganya. Tidak ada perlindungan bagi setiap kriminal dan penjahat.
  • Kesemua prinsip di atas didukung oleh dua kekuatan: Pertama, kekuatan spiritual yakni keyakinan rakyat kepada Allah bahwa Allah akan melindungi mereka serta menolong orang yang berbuat kebajikan dan mematuhi aturan-Nya. Kedua, kekuatan struktural yaitu kepemimpinan negara dipegang oleh Muhammad Rasulullah SAW.

Piagam ini menunjukkan bukti tak terbantahkan bahwa ajaran Rasulullah SAW didasarkan pada keadilan sosial, asas utama hubungan antara Islam dengan kelompok lain adalah perdamaian selama semua pihak saling menjaga kedamaian dan bahwa prinsip universal kebenaran, keadilan dan kerja sama didasarkan atas kebajikan dan berbuat baik kepada sesama manusia serta melindungi masyarakat dari tindak pemaksaan dan kejahatan serta kedzaliman. Semua itu adalah prinsip Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dan membuat kehidupan di bumi ini menjadi makmur untuk kebaikan bukan hanya umat Islam, bukan hanya seluruh manusia tapi seluruh isi bumi ini.

… Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya… (Q.S. Huud: 61)

Kesimpulan

Rasulullah SAW memang menjadi suri tauladan hasanah dalam berbagai dimensi kehidupan. Setiap jengkal perjalanannya tidak akan pernah habis untuk kita jadikan pelajaran dalam menapaki dan menjalani hidup dan kehidupan ini, termasuk dalam menghadapi multikultur masyarakat. Beliau membawa ajaran Islam yang moderat mendekat kepada pengertian wasatiyah, sehingga mampu membangun ummatan washatan dalam bingkai khaira ummah, generasi yang mampu menjadi pemberi kemakmuran di bumi dalam rentang 100 tahun pertama sejarah umat Islam.

Masalahnya adalah terkadang umat Islam saat ini khususnya di Indonesia kurang mengkaji lebih dalam dan komprehensif terhadap Sirah Nabawiyah dan ibrah-ibrah di dalamnya. Ini terlihat tidak berbanding lurusnya antara pertumbuhan rumah-rumah tahfidz, sekolah-sekolah Islam dan ajang perlombaan hafalan Al-Qur’an dengan kajian-kajian komprehensif terhadap Sirah Nabawiyah. Interaksi kita terhadap Al-Qur’an masih berputar di aspek tahsin dan tahfidz saja, sedikit yang mengkaji tadabbur hingga tafakkur, bahkan mengkaitkannya dengan Rasulullah SAW dan para sahabat. Padahal Al-Qur’an pertama kali diturunkan dan diterapkan kepada mereka dan mereka seharusnya menjadi contoh dan teladan untuk ummat Islam hari ini. Sehingga upaya ini perlu diseriusi oleh berbagai kalangan, mulai dari ulama hingga umara (pemimpin). Karena kalau umat Islam benar-benar menjadi muslim seutuhnya dan menjadi ummatan washatan seperti yang diterapkan Rasulullah dan para shahabat, maka kemakmuran, toleransi, perdamaian dan kerjasama akan mudah terwujud.

 

*Penulis : Sutarjo Paputungan, M.Pd.I.

*Penulis adalah Ketua Pimpinan Cabang Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (PC PERGUNU) Kota Gorontalo & Guru Fiqih di MTS Negeri 1 Kota Gorontalo.

Editor:
Kemenag Kota Gorontalo
Kontributor:
Kemenag Kota Gorontalo
Penulis:
Kemenag Kota Gorontalo
Fotografer:
Kemenag Kota Gorontalo

Kalender

September 2024
MIN SEN SEL RAB KAM JUM SAB

Gallery

  • -
  • -
  • -
  • -
  • -